Seuntai Kenangan
Dan Pelangi di Atas Pohon Rumbia
Siang hari ini langit terlihat sayu.
Biru cerah namun dibingkai cahaya abu-abu. Namun, tak lama kemudian
pendar-pendar cahaya biru itu menghilang. Gurat gerimis pun datang. Menandakan
hujan kembali membasahi permukaan bumi. Sejak itu pula Sabina harus
menghentikan perjalanan lalu menepi untuk berteduh dari derasnya hujan. Dengan
hati-hati, Dia menempatkan motor di tempat yang teduh agar benar-benar tidak
terkena air hujan. Karena di jok bagian belakang motornya terdapat barang yang
berharga untuk saat ini. Barang berharga yang akan diberikan ke Nenek Umi,
begitu dia memanggil Nenek Khadijah. Benda berharga itu adalah sebuah kue tart
yang dibeli di seberang kota.
Hari ini begitu istimewa baginya. Hari
ini Nenek Uminya berulang tahun. Dia tidak lupa untuk memberikan hadiah hanya sekedar
untuk menciptakan kebahagiaan di rumah kecilnya. Walaupun pemberian ini tak
sebanding harganya dengan pengorbanan Nenek Uminya selama mengasuh dia dan
kedua adiknya.
Kala hujan seperti ini, Sabina teringat
akan apa yang ditunggunya sewaktu dulu. Melihat pelangi saat hujan mulai reda.
Dia dan ibunya langsung antusias menuju teras lantai atas. Sambil melihat
pelangi itu, Sabina selalu meminta ibunya untuk bercerita tentang apa saja. Pelangi
itu indah setengah lingkaran di atas pohon rumbia. Terakhir kali dia dan Ibunya
melihat pelangi itu sekitar delapan bulan yang lalu. Ketika Sabina merasakan
nafas ibunya yang lemah dan sempat memberikan nasehat dan pesan kepadanya.
“Anakku Sabina.”
“Iya.
Tenang Bu semua akan baik-baik saja.”
Seolah tahu, ibunya akan mengeluarkan
sepatah kata yang akan diungkapkan.
“Mungkin tidak akan lama lagi akan ada
malaikat yang membawa ibu ke langit. Hanya kamu harapan ibu untuk bisa menjaga
adik-adikmu. Ibu akan terus melihatmu di atas sana dan jangan sekali-sekali kau
menyakiti orang lain. Karena hidupmu akan susah tiada hentinya. Dan bahagiakan
orang lain semampumu”
“Tuhan pasti punya skenario indah untuk
kita Bu. Pasti.”
Waktu percakapan itu, tubuh Sabina dan
Ibunya gemetar menahan perasaan kesedihan yang saling dirasakannya. Sabina
tidak siap jika ditinggalkan ibu karena sakitnya. Tidak ada air mata. Hanya
hati yang selalu mendesir. Percakapan itulah yang diingatnya hingga kini.
Percakapan terakhir antara Sabina dan ibunya.
Dia tidak sempat hadir dalam pemakaman
ibunya. Karena dia tidak bisa pulang karena tidak punya biaya. Hidup keluarga
Sabina sangat susah namun berkecukupan. Karena nilai keikhlasan hidup takkan
ternilai harganya. Saat itu Sabina dan menjalani ujian semester yang sedang
kuliah di luar pulau.
Hujan mereda. Hanya tinggal tetesan
gerimis tipis yang jatuh ke permukaan. Sabina tidak pikir panjang. Ia lalu
menghidupkan motornya dan segera berlalu.
Perjalanan masih lumayan jauh dan masih
menyebrangi sungai. Ditengah perjalanan tidak lama kemudian hujan datang lagi
dan kali ini dia berteduh di sekolah dasar dimana dia bersekolah dulu. Sekolah
ini tidak begitu jauh dari rumahnya sekitar satu setengah kilometer lagi dengan
menyebrangi Sungai Martapura. Dia
menunggu sampai dia yakin hujan akan benar-benar mereda.
Sekolah yang dihampiri ini adalah tempat
kenangan bagi Sabina dan Ayahnya. Ketika itu sebelum banyak orang tersadar
pendidikan itu penting. Dia dan Ayahnya datang ke sekolah ini dengan membawa
sejuta harapan. Saat itu perasaan Sabina entah bahagia entah merasa getir.
Karena hanya sekitar belasan anak saja yang mau bersekolah. Walaupun begitu
Sabina tetap bersemangat belajar dan mempertahankan prestasinya di sekolah.
Hingga akhirnya dia bisa meneruskan pendidikannya sampai Perguruan tinggi.
Sabina kini kuliah di Universitas terkemuka di Yogyakarta. Berkat prestasinya,
kebetulan tempat bekerja ayahnya mengadakan program beasiswa bagi anak para
pegawai disana. Ayahnya pun mendaftarkan Sabina. Dan akhirnya lolos dan melanjutkan
kuliah di universitas impiannya.
Ayah Sabina adalah seorang penambang
batu bara yang sudah tiga tahun yang lalu dipindahkan ke tanah Papua. Bekerja
untuk orang lain. Tetapi hasilnya dikirim ke pulau Jawa. Sabina merasakan
sendiri perbedaan di tempat tinggalnya dan di perantaunnya di Yogyakarta.
Ayahnya tahu bagaimana memotivasi
anak-anaknya. Biasanya dia mengajak anak-anaknya untuk membayangkan kehadiran
orang tuanya. Sabina sendiri merasakannya. Saat itu, setelah ayahnya
mengantarkan Sabina ke kampusnya dan mulai meninggalkannya, sang ayah tersenyum
dan dengan berlinang air mata karena terharu.
“Ayah tidak bisa memberikanmu kado yang
istimewa. Seperti yang akan didapatkan teman-temanmu. Tapi ayah berusaha untuk
memberikan penghargaan atas perjuanganmu sejauh ini.”
Sabina hanya terdiam dan tersenyum.
Menahan harunya. Lalu Ayahnya mengeluarkan sebuah bingkisan yang terkado sangat
rapi. Sabina lalu membukanya secara pelan-pelan. Di balik kado itu ia menemukan
sebuah kitab suci Al-Quran yang bersampul kulit asli dan terukir indah sebuah
namanya. Sabina Altha Faatina. Tersulam rapi dengan benang emas.
“Bacalah seusai sholatmu. Berdoa untuk
masa depanmu. Doakan ibu, ayah, dan adik-adikmu serta nenek umi agar sehat
selalu. Insya Allah semua akan hadir dalam hari-harimu.”
Sabina mengangguk. Tidak tahan lagi
berkata-kata. Sabina langsung memeluk ayahnya dengan linangan air mata. Dia
akan selalu merindukan ayahnya
Hujan tak kunjung reda. Sabina akhirnya
nekat untuk menerobosnya karena tak ingin menunggu langit berubah menjadi
gelap. Saat sampai rumah, ada kebiasaan baru yang bermula dari setahun yang
lalu, yaitu ketika bersalaman dan mencium tangan Nenek Umi tidak lupa sambil melihat
jari manisnya. Sekedar melihat sebuah cincin dengan hiasan seadanya yang
dipastikan tetap berada di jari manis yang indah itu. Dia tidak tahu apa bentuk
hiasan itu. Namun itu tidak penting baginya. Karena yang paling penting adalah
cincin itu punya makna dan dia merasa cincin itu akan bagus di pakai oleh Nenek
Umi. Memang jika diukur cincin itu tidak begitu istimewa bila diukur
timbangannya yang hanya dua gram.
Sampai di rumah Sabina memanggil adiknya.
Namanya Della. Di rumah mungil ini hanya tinggal Umi, Della dan Raffi.
“Dik, Umi Nenek sedang apa?”
“Itu kak sedang diatas. Ayo kak
keatas. Kakak sudah ditunggu dari tadi”
“Ditunggu? Emang ada apa dik?
“Sudahlah ayo naik kak” dengan
semangat Della menarik tangan kakanya untuk menaiki tangga ke lantai atas.
Sabina pun penasaran.
“Sebentar dik ada yang ketinggalan.
Kamu keatas dulu.” Sabina lalu turun dari tangga dan mengambil kue tart yang
masih dalam motornya. Lalu dia merapikan bingkisan itu agar lebih bersih dan
dipindahkan ke tempat lain. Namun setelah dibuka, betapa kecewanya dia melihat
kue tart yang dia bawa dari jauh itu menjadi hancur tak terbentuk. Dengan
sedikit rasa kecewa dia lalu memindahkan kue tar tersebut ke sebuah piring dan
merapikannya. Setelah itu dia langsung naik ke lantai atas sambil membawa kue
tart untuk neneknya.
Sesampai di lantai atas dia diam
terpaku. Ternyata dia benar-benar ditunggu kehadirannya. Sosok yang
dirindukannya selama ini sekarang ada di rumah. Sabina langsung memeluk ayahnya
dan mencium tangannya yang sudah lama ingin bertemu.
“Ayah
kapan datangnya? Kok tidak kasih kabar kalau mau pulang” kata Sabina.
“Dari tadi pagi ayah sampai di rumah.
Memang sengaja tidak memberitahu kalian. Mau kasih kejutan. Oh iya, Ayah seminggu
disini soalnya ada keperluan kantor. Kamu habis dari mana. Lama sekali
perginya?” Jawab Ayah.
“Ah ayah. Senang sekali bikin
kejutan. Hehe. Oh iya yah kebetulan hari ini nenek umi berulang tahun. Jadi
kita ramai-ramai merayakan ulang tahun nenek Umi. Ini tadi aku keluar beli kue
tart untuk nenek umi.”
Nenek yang berada disamping ayahnya
tersenyum bahagia dengan apa yang telah dilakukan Sabina. Sang Ayah pun
langsung memberikan selamat doa kepada nenek lalu diikuti oleh Della dan Raffi
serta Sabina.
“Terima kasih Sabina. Kamu berbuat
seperti ini untuk nenek”
“Iya sama-sama Nenek Umi, maaf tahun
ini tidak bisa memberikan kado spesial seperti tahun kemarin” kata Sabina lirih.
Mendekatlah Uminya ke dekat wajah Sabina
lalu membisikkan sesuatu di telinganya.
“Tidak apa-apa, Nenek Umi senang. Cukup
hanya doamu saja untuk kesehatan Nenek Umi. Kau selalu memberikan yang terbaik
untukku Sabina. Ini kelihatan begitu istimewa. Terima Kasih nak.” Kata Nenek Umi
lembut.
“Selamat ulang tahun Nek, semoga umurnya
tambah berkah dan semoga panjang umur agar bisa datang di wisudaku nanti”
Pelangi itu muncul di atas pohon rumbia.
Indah berwarna cerah.
Oleh : Aditya Zulmi Rahmawan