Kita berada
di sebuah negara yang memiliki perairan laut yang sangat indah, sehingga kita
wajib ikut serta dalam melestarikannya. Namun dalam perkembangannya kini, ekosistem laut di Indonesia dalam keadaan terancam rusak. Sama halnya dengan daratan, perairan laut
kita juga memiliki ekosistem yang memiliki perannya masing-masing. Jika terumbu
karang di Indonesia seluas 50.000 kilometer persegi, hanya 7% saja dalam
kondisi sangat baik dan 33 persennya baik. Begitupun mangrove di Indonesia, hanya
32 persen saja dalam keadaan baik (Kementerian Lingkungan Hidup, 2005). Di
antara kedua ekosistem laut tersebut ada lagi jenis ekosistem lain yang jarang
disinggung, yakni lamun atau tumbuhan air berbunga yang hidup dan tumbuh
terbenam di lingkungan laut. Mungkin sebagian dari kita belum banyak mengenal tentang
ekosistem lamun, terlebih lagi penghuni khasnya yakni, mamalia laut dugong. Keengganan
kita sebagai manusia tidak sadar akan pentingnya lingkungan apapun di bumi ini
dapat menjadikan lingkungan ini menjadi rentan punah karena terabaikan, termasuk
keberadaan padang lamun dan mamalia dugong.
Padang Lamun, Pelindung Biota Laut
Karakteristik Lamun
Padang lamun merupakan pelindung biota laut yang terlupakan. Bila kita amati, jarang sekali keberadaan lamun di Indonesia disinggung dalam aksi kampanye lingkungan. Padahal kondisi padang lamun tak kalah mengenaskan. Dari seluruh lautan Indonesia terdapat sekitar 75-90 persen lamun yang rusak, terutama di daerah pelabuhan.
Padang Lamun, Pelindung Biota Laut
Karakteristik Lamun
Padang lamun merupakan pelindung biota laut yang terlupakan. Bila kita amati, jarang sekali keberadaan lamun di Indonesia disinggung dalam aksi kampanye lingkungan. Padahal kondisi padang lamun tak kalah mengenaskan. Dari seluruh lautan Indonesia terdapat sekitar 75-90 persen lamun yang rusak, terutama di daerah pelabuhan.
Padang lamun yang asri. Hijau dan teduh. |
Lamun merupakan tumbuhan berbunga yang tumbuh
di dasar perairan dangkal daerah pesisir. Biasanya tumbuh dan berkembang secara
berkelompok membentuk sebuah padang lamun. Padang lamun merupakan salah satu
habitat di daerah pesisir, selain mangrove dan terumbu karang. Dalam bahasa
inggris, padang lamun disebut seagrass, sedangkan rumput laut
disebut seaweed. Lamun memiliki karakteristik
sebagai berikut :
1. Tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang
menyesuaikan diri hidup di dalam laut,
2. Beradaptasi terhadap kadar air asin
(salinitas) yang tinggi,
3. Menempati perairan laut dengan suhu berkisar
38-42o C,
4. Berada di daerah intertidal sampai kedalaman
70 m.
5. Mampu melaksanakan penyerbukan dan daur
generatif dalam keadaan terbenam
6. Memiliki sistem perakaran, dedaunan, sistem
transportasi internal untuk gas dan nutrien,
7. Memerlukan sinar matahari untuk melakukan
fotosintesis.
Fakta-fakta lamun |
Seperti
tumbuhan darat umumnya, lamun juga mempunyai akar batang, daun, bunga dan buah.
Batangnya tumbuh mendatar dan terbenam di dasar laut dan disebut rimpang.
Proses penyerbukan dan pembuahannya seluruhnya terjadi dalam medium air. Lamun
hidup di perairan dangkal pada substrat pasir, pasir-lumpuran, lumpur-pasiran
dan karang pada kedalaman sampai sekitar 40 m.
Berdasarkan nilai produktivitas padang lamun, asosiasi
organisme, uraian tentang biota dan sumberdaya hayati laut dan tujuannya menempati
atau mengunjungi padang lamun, dapat disimpulkan bahwa pada ekosistem padang
lamun terdapat tiga tipe rantai makanan, yaitu :
1. Rantai Makanan Detritus (Detritus
Food Chain), karena sebagian besar biota yang hidup pada ekosistem padang
lamun menanfaatkan serasah lamun sebagai makanan (sumber energi),
2. Rantai Makanan Merumput (Grazing
Food Chain), karena sejumlah fauna laut termasuk reptilia dan mamalia laut
menggunakan padang lamun sebagai padang penggembalaan.
3. Rantai makanan plankton (Plankton Food Chain). Ketiga rantai makanan tersebut membentuk jala makanan pada
ekosistem padang lamun.
Persebaran padang lamun bisa
hampir ditemukan di seluruh Indonesia dari Sumatera hingga Papua dan dari
Sulawesi Utara hingga Nusa Tenggara. Menurut Pusat Penelitian Oseanografi LIPI
(2017) menunjukkan bahwa luas lamun di seluruh Indonesia adalah 150.693,16 ha.
Di wilayah Indonesia Bagian Barat luasnya 4.409,48 ha sedangkan di wilayah Indonesia
Bagian Timur luasnya 146.283,68 ha.
Lokasi kajian lamun di Indonesia (Kiswara, 1997) |
Spesies lamun yang terdapat di Indonesia |
Fungsi Ekosistem Lamun bagi biota laut dan manusia
Padang lamun memiliki peran dalam berbagai fungsi. Sering kali
tumbuh luas menutupi wilayah-wilayah paparan benua yang menciptakan
lingkungan dengan produktifitas tinggi yang tak bisa diabaikan. Daerah paling
produktif di laut setelah produktifitas plankton dan kebun kelp di
daerah dingin. Rumpun lamun memberikan tempat
berlindung dan tempat mencari makan bagi ikan, udang, kepiting, gurita, dan
berbagai biota laut lainnya, termasuk juga bagi penyu dan dugong. Padang lamun
juga menjadi tempat asuhan (nursery ground) bagi anakan ikan dan
berbagai jenis biota laut lainnya.
Padang lamun tempat kehidupan biota laut |
Ekosistem lamun di Indonesia memiliki peran penting dalam kawasan coral triangle. Coral Triangle adalah istilah geografis untuk perairan di Indonesia, Malaysia, Papua
Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon dan Timor Leste yang kaya akan terumbu
karang. Wilayah perairan Indonesia yang berada pada Coral Triangle ini memiliki keanekaragam
yang sangat tinggi dengan menyediakan sumber pangan bagi berbagai macam
organisme. Habitat di Coral Triangle sangat
berhubungan satu dengan lainnya. Jika satu habitat terganggu maka habitat yang
lainnya akan terganggu juga. Meskipun terumbu karang memiliki penampilan yang
lebih menarik dibandingkan padang lamun, tanpa kehadiran padang lamun, terumbu
karang akan mengalami kerusakan, karena padang lamun melindungi terumbu karang
dari patogen. Selain itu, lamun juga berperan
sebagai penghubung ekosistem mangrove dengan ekosistem terumbu karang.
Lamun dapat
menyerap karbon dioksida dari laut, sehingga mampu mencegah terjadinya
perubahan iklim. Ekoistem ini mampu menyimpan lebih dari dari dua kali jumlah
seluruh CO2 dari daratan, karena penyerapan CO2 yang
mencapai 19,9 miliar metrik ton karbon. Kemampuan lamun dalam menyimpan karbon
termasuk hal unik karena menyimpannya secara reguler di akar dan menyimpannya
selama ribuan tahun.
Selain itu, padang lamun dapat pula berfungsi mestabilkan garis
pantai. Akar dan rimpang lamun dapat mencengkeram sedimen dasar laut hingga
membuat pantai lebih tahan terhadap erosi. Lamun dapat dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan manusia seperti untuk bahan makanan (biji Enhalus misalnya
dapat dimakan), dijadikan bahan obat-obatan, untuk bahan dasar kerajinan, pupuk
atau makanan ternak. Padang lamun juga
berperan penting sebagai sumber perikanan. Dari sekitar 360 jenis ikan yang
diketahui hidup di padang lamun sekitar 30 jenis mempunyai nilai ekonomi
penting. Selain itu padang lamun juga merupakan penghasil berbagai jenis
perikanan lainnya seperti kerang, kepiting, udang, teripang dan lainnya.
Lamun sebagai sumber pakan utama berbagai biota laut (Fortes, 1990) |
Tutupan (coverage)
tajuk rumput lamun ini juga memberikan naungan dari cahaya matahari langsung,
menciptakan iklim mikro khusus di dasar perairan. Pada saat air laut
surut, daun-daun lamun melindungi substrat dari teriknya matahari dan mencegah
penghuninya dari kekeringan yang mematikan.
Padang lamun juga berfungsi
sebagai penyaring nutrient yang berasal dari sungai atau laut, pemecah
gelombang dan arus, serta meningkatkan kualitas air laut dengan membantu pengendapan
substrat dan menstabilkan sedimen.Lamun
adalah produsen primer dalam ekosistem padang lamun, sehingga merupakan
komponen yang penting di wilayah perairan laut karena menghasilkan oksigen dan
materi organik dari hasil fotosintesis. Oleh karena itu, padang lamun digunakan
oleh biota laut sebagai tempat mencari makan (feeding ground),
pemijahan (spawning ground), dan asuhan (nursery ground).
Lamun sendiri tidak banyak dimanfaatkan
secara langsung oleh manusia. Hanya ada beberapa jenis yang buahnya
digunakan sebagai bahan makanan, itu pun bukan pada skala yang penting. Akan
tetapi lamun penting secara ekologi karena menyerap nutrien dari tempat
tumbuhnya yang berupa sedimen lumpur dan pasir. Dengan demikian lamun
telah mengambil kembali nutrien dari dasar laut dan mengembalikannya ke dalam
rantai makanan
ekosistem. Sesuatu yang tak bisa dilakukan oleh alga laut yang
mengandalkan nutrien yang terkandung dalam air saja.
Menurut Philips & Menez (1988) lamun telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara tradisional maupun secara modern. Secara tradisional lamun telah dimanfaatkan untuk :
Menurut Philips & Menez (1988) lamun telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara tradisional maupun secara modern. Secara tradisional lamun telah dimanfaatkan untuk :
1. Digunakan untuk kompos dan
pupuk
2. Cerutu dan mainan anak-anak
3. Dianyam menjadi keranjang
4. Tumpukan untuk pematang
5. Mengisi kasur
6. Ada yang dimakan
7. Dibuat jaring ikan
Pada
zaman modern ini, lamun telah dimanfaatkan untuk:
1. Penyaring
limbah
2. Stabilizator
pantai
3. Bahan
untuk pabrik kertas
4. Sebagai bahan dasar untuk
membuat kue (roti)
5. Obat-obatan
6. Sumber
bahan kimia.
7. Tempat budidaya laut jenis ikan, kerang-kerangan dan tiram.
8. Tempat
rekreasi atau pariwisata ekowisata.
9. Bahan dasar pembuatan makanan
ternak.
10. Padang
lamun dimanfaatkan sebagai laboratorium alam bagi kegiatan pendidikan dan
penelitian.
Dugong, spesies penghuni lamun yang
rentan
Fakta dugong |
Dugong dugon dalam tampilan fisiknya bentuknya seperti ikan yang tambun, tanpa sirip punggung, dilengkapi dengan ekor yang pipih, horizontal dan bentuknya bercabang seperti ekor paus dan lumba-lumba. Bila ekornya diayunkan naik- turun akan memberi daya dorong baginya untuk berenang maju ke depan, sedangkan bila dipelintir untuk gerakan membelok. Panjang dugong dewasa jarang melebihi 3 meter dengan berat sampai sekitar 420 kg. Tetapi rekor dugong terberat tercatat sebesar 1.016 kg dengan panjang 4,06 m di pantai Saurashtra, di bagian sebelah barat India. Dugong betina cenderung sedikit lebih besar dari yang jantan. Kulit dugong tebal dan halus dengan warna pucat ketika masih bayi, dan berubah menjadi warna abu-abu gelap kecoklatan di bagian punggungnya menjelang dewasa dan bagian perut dengan warna yang lebih terang. Warna dugong dapat berubah dengan pertumbuhan alga di kulitnya.
Dugong dapat mempunyai usia yang panjang sampai lebih 70 tahun. Dugong mulai dapat melahirkan anak pada usia 10 - 17 tahun, namun ada juga yang menyebutkan dapat sedini 6 tahun. Usia kehamilan dugong adalah sekitar 13 - 15 bulan. Setiap melahirkan akan menghasilkan hanya satu anak.Bayi dugong berukuran besar, ketika baru dilahirkan panjangnya berukuran 1,1 - 1,2 m dengan berat sekitar 27 - 35 kg. Anak dugong menyusu pada ibunya sampai usia usia 14 – 18 bulan. Selain menyusu, dugong juga sudah dikenalkan oleh ibunya untuk memakan lamun sesaat setelah dilahirkan.
Dugong dan kekerabatannya
Klasifikasi dugong |
Dalam klasifikasi hewan, dugong
termasuk dalam Class Mammalia yang dicirikan
dengan hewan yang menyusui anaknya, dan
di
bawah Ordo Sirenia yang dicirikan
dengan mammalia
laut yang herbivor. Di bawah Ordo
Sirenia hanya
ada dua kelompok
yakni
Familia
Dugongidae
dan Trichechidae. Di bawah Familia Dugongidae sekarang hanya terdapat satu spesies yakni
Dugong dugon. Kerabat terdekatnya sesama Dugongidae
adalah Hydrodamalis gigas yang telah punah di abad 18. Kerabat lainnya di bawah Trichechidae
adalah genus Trichechus yang lebih dikenal dengan nama Manatee yang
hidup dari perairan pantai hingga
di perairan tawar, dan makanannya pun
lebih
beragam dibandingkan dengan Dugong.
Dugong pertama kali diklasifikasi oleh Muller di tahun 1776 dengan nama Trichechus
dugon, dan kemudian direvisi oleh
oleh Lacepede yang mengubah namanya menjadi
Dugong dugon. Dugong dugon adalah satu-satunya spesies yang masih eksis di bawah suku (Familia) Dugongidae. Spesies lainnya dari suku Dugongidae ini adalah gigas, yang juga dikenal sebagai Steller's sea cow atau sapi laut Steller.
Tetapi spesies ini
telah punah di abad 18 hanya sekitar 30 tahun sejak pertama kali ditemukan.
Hydrodamalis gigas atau yang juga dikenal dengan Steller's sea cow atau Sapi Laut Steller adalah kerabat dekat Dugong dugon, satu-satunya spesies selain dugong yang bernaung di bawah suku Dugongidae. Hewan ini merupakan raksasa laut yang bisa tumbuh sampai berukuran panjang 10 meter dengan bobot 6.000 kg. Jenis ini telah punah karena perburuan berlebihan (over-hunting) yang dilakukan oleh para pemburu anjing laut (sealers) dari Eropa di tahun 1768, kurang dari 30 tahun setelah hewan ini pertama kali ditemukan oleh para pemburu Rusia. Populasi hewan ini dulunya pernah terdapat di pesisir Pasifik, yang terbentang dari Meksiko sampai ke Jepang, tetapi berangsur-angsur semakin terdesak dan akhirnya hanya terdapat di perairan dingin Laut Bering, antara daratan semenanjung Kamchatka dan Kanada. Sapi laut ini hidup dari makanannya yang berupa kelp atau ganggang laut yang bisa tumbuh sangat lebat di laut yang dingin dan dangkal di perairan itu. Hewan raksasa ini sudah beradaptasi sepenuhnya di lingkungan dangkal sedemikian rupa hingga ia sudah kehilangan kemampuan untuk menyelam. Oleh karena itu, raksasa ini menjadi sasaran empuk untuk diburu dan dibantai oleh para pemburu untuk menjadi sumber pangan. Punahnya sapi laut ini merupakan rekaman pertama punahnya species mamalia laut di abad-abad terakhir ini. Tentunya, pasti kita tidak akan mau dugong menjadi punah seperti kerabatnya itu
Persebaran Dugong
Dugong sering dijumpai hidup soliter (sendiri), tetapi kadangkala juga dalam kelompok kawanan (herd) kecil sebanyak 5-10 individu. Di Australia, satu kawanan dugong bisa sampai puluhan individu atau lebih. Kawanan dugong dengan jumlah individu tertinggi yang pernah tercatat adalah di Teluk Persia yang terdiri dari 670 individu. Tetapi tampaknya tidak terdapat ikatan sosial terstruktur yang kuat di antara individu dalam kawanan tersebut. Terjadinya kawanan yang besar bisa terjadi pada saat makan bersama pada suatu padang lamun Tiap individu dapat bebas keluar dari kawanannya. Ikatan yang kuat terdapat hanyalah antara induk dan anak. Anak dugong selalu berada dekat induknya sampai menjelang dewasa.
Dugong sering dijumpai hidup soliter (sendiri), tetapi kadangkala juga dalam kelompok kawanan (herd) kecil sebanyak 5-10 individu. Di Australia, satu kawanan dugong bisa sampai puluhan individu atau lebih. Kawanan dugong dengan jumlah individu tertinggi yang pernah tercatat adalah di Teluk Persia yang terdiri dari 670 individu. Tetapi tampaknya tidak terdapat ikatan sosial terstruktur yang kuat di antara individu dalam kawanan tersebut. Terjadinya kawanan yang besar bisa terjadi pada saat makan bersama pada suatu padang lamun Tiap individu dapat bebas keluar dari kawanannya. Ikatan yang kuat terdapat hanyalah antara induk dan anak. Anak dugong selalu berada dekat induknya sampai menjelang dewasa.
Dugong (Dugong dugon) hanya terdapat di daerah tropis dan subtropis di kawasan Indo-Pasifik, kurang lebih antara 30o Lintang Utara sampai 30o Lintang Selatan. Sebarannya cukup luas, meliputi
48 negara dari pesisir
timur Afrika sampai Vanuatu di sebelah
tenggara Papua New Guinea (Marsh dkk, 2002). Diperkirakan
sebanyak 85.000 ekor dugong dunia berada di perairan pesisir Australia. Ini mungkin mencakup sekitar 75 % dari seluruh populasi dugong yang ada dunia, bahkan mungkin lebih. Populasi terbesar kedua terdapat di Teluk Arabia dengan perkiraan populasi di tahun 1987 sekitar 7,310 ekor dugong. Di daerah lainnya populasinya sedikit dan terpisah-pisah.
Penetapan
sebaran
dugong
di tiap
negara
sukar
dilaksanakan.
Banyak informasi mengenai
sebaran dugong didasarkan pada kisah (anecdotal) yang diceriterakan oleh penduduk
setempat.
Meskipun demikian tampaknya terdapat kecenderungan umum bahwa di banyak tempat populasi dugong semakin berkurang dibandingkan beberapa dekade lalu. Di beberapa daerah seperti di
Mauritius, Maladewa (Maladives), Cambodia dan sebagian Filipina bahkan diperkirakan
mungkin dugong telah punah (Marsh dkk, 2002).
Di Indonesia, dugong tersebar mulai dari ujung Indonesia bagian barat (Aceh) hingga timur Indonesia (Papua). Populasi tertingginya berdasarkan diperkirakan ada di perairan Ekoregion Arafura (kurang dari 200 ekor), Ekoregion Papua (kurang dari 100 ekor), serta Ekoregion Lesser Sunda, Ekoregion Paparan Sunda, dan Ekoregion Selat Makasar yang masing-masing kurang dari 100 ekor. Sementara, untuk ekoregion lainnya terpantau dalam populasi yang lebih kecil.
Dugong sering dijumpai di daerah Bintan, Kepulauan Riau. Wilayah ini memiliki luasan ekosistem padang lamun mencapai 2600 ha dengan kondisi yang sangat baik. Kabupaten Bintan merupakan salah satu daerah yang memiliki ekosistem perairan yang masih terjaga. Ini terlihat adanya beberapa wilayah perairan yang di jadikan kawasan konservasi laut daerah oleh pemerintah daerah Kabupaten Bintan. Selain kabupaten Bintan, ekosistem lamun yang juga masih terjaga dan sering ditemui dugong yaitu, di Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah, Tolitoli Sulawesi Tengah dan di Alor Nusa Tenggara Timur.
Di Indonesia, dugong tersebar mulai dari ujung Indonesia bagian barat (Aceh) hingga timur Indonesia (Papua). Populasi tertingginya berdasarkan diperkirakan ada di perairan Ekoregion Arafura (kurang dari 200 ekor), Ekoregion Papua (kurang dari 100 ekor), serta Ekoregion Lesser Sunda, Ekoregion Paparan Sunda, dan Ekoregion Selat Makasar yang masing-masing kurang dari 100 ekor. Sementara, untuk ekoregion lainnya terpantau dalam populasi yang lebih kecil.
Dugong sering dijumpai di daerah Bintan, Kepulauan Riau. Wilayah ini memiliki luasan ekosistem padang lamun mencapai 2600 ha dengan kondisi yang sangat baik. Kabupaten Bintan merupakan salah satu daerah yang memiliki ekosistem perairan yang masih terjaga. Ini terlihat adanya beberapa wilayah perairan yang di jadikan kawasan konservasi laut daerah oleh pemerintah daerah Kabupaten Bintan. Selain kabupaten Bintan, ekosistem lamun yang juga masih terjaga dan sering ditemui dugong yaitu, di Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah, Tolitoli Sulawesi Tengah dan di Alor Nusa Tenggara Timur.
Keberadaan dugong merupakan indikator kelestarian
untuk melihat ekosistem tersebut rusak atau tidak. Jika intensitasnya semakin
banyak dan semakin terlihat, dapat dikatakan wilayah tersebut masih lestari dan
jauh dari kerusakan. Keberlangsungan asosiasi antara dugong dan lamun dapat
menjamin keseimbangan ekologis satwa dan tumbuhan yang ada di habitat lamun.
Termasuk di antara satwa yang mendapat manfaat dari keberadaan dugong adalah
ikan-ikan, seperti baronang dan katamba, yang memang hidup di padang lamun. Berdasarkan
data dari LIPI pada 2017, dugong merupakan flagship
species atau spesies kunci dari upaya konservasi padang lamun.
Berdasarkan sejarah, di Eropa terjadi
pengeksploitasian dugong secara besar-besaran pada tahun 1917 hingga hewan
tersebut punah di perairan setempat. Tanpa diduga, beberapa tahun kemudian
terjadi wabah di ekosistem lamun, tempat dugong hidup. Tak adanya dugong
membuat wabah penyakit tak terkendali hingga ekosistem padang lamun punah. Oleh
karena itu keberadaan dari keduanya saling membutuhkan.
Simbiosis mutualisme antara dugong
dan padang lamun terjadi karena saat dugong memakan lamun, saat itu juga dugong membantu sebaran lamun. Kemudian, kotoran yang berasal dari
dugong itu sendiri nantinya akan berguna sebagai bahan perkembangan lamun.
Dengan begitu, dugong yang juga masih merupakan kerabat evolusi dari gajah itu
berperan penting memperlancar siklus nutrien pada habitat lamun. Keberadaan
dugong sebagai penyubur padang lamun pun kini kian penting karena rusaknya
padang lamun akibat reklamasi dan alih fungsi habitat. Saat ini diperkirakan,
80% padang lamun di Indonesia berada dalam kondisi tidak sehat.
Hubungan lamun dan dugong |
Dugong dimanfaatkan dalam berbagai keperluan. Namun,
pemanfaatan tersebut dilakukan berpuluh-puluhan tahun yang lalu meskipun
intensitasnya mulai menurun dan sifatnya adalah perburuan yang mengancam. Hampir
semua bagian dugong dapat dimanfaatkan. Mulai dari kulitnya, daging dan
lemaknya, tulangnya, giginya yang berupa gading, isi perutnya, hingga air
matanya. Ada pula dimanfaatkan untuk keperluan konsumsi, obat-obatan,
pernak-pernik hiasan dan untuk berbagai keperluan budaya dan religi setempat.
Di beberapa negara seperti Vanuatu, Sabah
(Malaysia), Filipina telah mengembangkan kegiatan wisata "Swim with dugong". Kegiatan ini
umumnya dikemas dalam paket ekowisata yang berorientasi pada prinsip
kelestarian alam.
Kegiatan tersebut sama halnya mengenalkan manusia dengan dugong agar mengetahui
begitu pentingnya pelestarian hewan ini.
Status
populasi dugong menjadi indikator kunci dari kesehatan ekosistem pesisir secara
umum dan secara khusus pada padang lamun. Lamun dan dugong merupakan komponen
yang tidak dapat dipisahkan. Padang lamun merupakan habitat dan tempat mencari
makan bagi dugong. Hubungan keduanya merupakan hubungan simbiosis mutualisme,
karena keduanya menjamin keseimbangan ekologis flora dan fauna yang berada di
sekitar padang lamun.
Habitat lamun merupakan tempat bermain dan
mencari makan dugong. Interaksi antar dugong sangat penting karena dapat
menimbulkan rasa aman dan rasa nyaman karena saling bertemu bahkan bisa untuk
melestarikan lingkungannya.
Melalui
perilaku makan dugong yang terlihat mengacak-acak dasar lamun, hal tersebut
membuat padang lamun menjadi subur. Dugong memakan lamun tidak
saja bagian yang di atas permukaan sedimen tetapi juga sampai ke akar-akarnya
yang banyak mengandung nutrisi. Oleh sebab itu bekasnya mencari makan akan
meninggalkan jejak di dasar
laut berupa jalur-jalur
memanjang yang disebut
feeding trail. Struktur mulutnya sesuai untuk
menggali dan mencabut lamun yang menjadi kesukaannya. Tidak semua jenis lamun
disukai oleh dugong. Penelitian yang dilakukan di Pulau-Pulau Lease (Ambon,
Haruku, Saparua, Nusa Laut) menunjukkan bahwa dugong menyukai makanan lamun
dengan urutan favorit sebagai berikut: Halophila ovalis; Halodule uninervis; Cymodocdea rotundata; Cymodocea serrulata; Thalassia hemprichii (de Iongh,
1997).
Ancaman dan Permasalahan Lamun dan Dugong
a) Ancaman dan Permasalahan Lamun
Ancaman dan
permasalahan lamun sebagian besar disebabkan oleh pembangunan manusia. Kualitas
lamun yang mengalami degradasi menyebabkan luas habitat yang berkurang bagi
biota laut yang berada di dalamnya. Pembangunan konstruksi pantai, misalnya
pembangunan pelabuhan, pemukiman, fasilitas wisata dapat melenyapkan luasan
padang lamun atau menyebabkan kekeruhan air yang pada gilirannya akan
menghambat pertumbuhan lamun yang menjadi tumpuan hidup dugong. Pembangunan
kawasan industri dan pelabuhan di Teluk Banten, misalnya telah melenyapkan
sekitar 30 % luas lamun dari teluk tersebut (Tomascik dkk, 1997).
Selain itu
habitat dugong juga dapat terdegradasi karena terjadinya pencemaran air, baik
yang bersumber dari daratan maupun dari kegiatan di laut. Sumber pencemaran
dari darat bisa dari limbah industri, pertanian, pemukiman, pertambangan,
sedangkan dari kegiatan laut misalnya karena terjadinya tumpahan minyak di
laut. Di Papua Barat
pembalakan (logging) dan pertambangan menimbulkan ancaman
terhadap padang lamun dan biota laut lainnya.
Kecelakaan
kandasnya kapal tanker atau tabrakan di laut dapat menyebabkan pencemaran minyak
yang sangat luas dampaknya terhadap biota dan lingkungan perairan laut dan
menimbulkan pencemaran massif pada ekosistem lamun.
Pencucian air
balas kapal tanker juga dapat merupakan ancaman. Karena lemahnya pengawasan di
laut, sering terjadi kapal pengangkut minyak mentah mencuci air balasnya dengan
membuang langsung ke laut secara ilegal. Minyak mentah yang terbuang ke laut
mengalami degradasi dan sebagian akan terdampar berupa gumpalan-gumpalan minyak
(tar ball) yang hitam mencemari
pantai, dan dapat merusak ekosistem padang lamun. Pencemaran pantai oleh
gumpalan minyak ini sering terjadi di pantai Pulau Bintan dan Pulau Batam.
Ancaman dari
fenomena alam misalnya karena badai siklon tropis yang dahsyat yang dapat
memporak-porandakan lingkungan pantai. Dampaknya tidak langsung karena
menghancurkan padang lamun. Siklon tropis ini tidak terjadi di jalur
khatulistiwa seperti Indonesia, tetapi umumnya pada jalur antara lintang 10o
sampai 30o baik Lintang Utara maupun Lintang Selatan (Nontji, 2007).
Kasus lainnya di tahun 1992, Teluk Hervey (Australia)
dilanda banjir besar diikuti siklon dahsyat selama tiga minggu, menyebabkan
hancurnya lebih dari 1.000 km2 padang lamun karena sedimentasi yang
berat, yang mengakibatkan
banyak dugong mati
kelaparan (ditemukan sebanyak 99
bangkai dugong). Banyak pula dugong yang hijrah ke tempat lain sampai sejauh
900 km. Diperkirakan akan diperlukan waktu sekitar 25 tahun untuk pulih kembalinya dugong di teluk ini
seperti sedia kala.
Pada mulanya dugong
tersebar luas di perairan tropis dan subtropis
di kawasan Indo-Pasifik. Tetapi kini persebarannya
semakin terbatas. Oleh
IUCN
(International Union
for the Conservation of Nature) dugong telah
dinyatakan "vulnerable
to
extinction" atau "rentan
punah". Di Indonesia, banyak
perairan pantai yang dulu dikenal
dihuni oleh dugong, sekarang
sudah tak terdengar beritanya lagi.
Ancaman dugong paling berbahaya adalah pada perburuan dari manusia
Ancaman antropogenik terhadap dugong bisa bersifat langsung misalnya karena sengaja diburu, tertangkap secara tak sengaja dalam kegiatan perikanan, atau karena akibat penggunaan teknik perikanan yang destruktif seperti penggunaan bahan peledak dan racun. Ancaman tak langsung misalnya karena makin menyusutnya luas padang lamun atau makin terdegradasinya kondisi lingkungan padang lamun yang menjadi habitat dugong akibat meningkatnya kekeruhan air dan pencemaran.
Selain dampak antropogenik, ada pula dampak negatif yang bisa ditimbulkan
oleh faktor alam, seperti badai atau siklon yang menghantam dan
memporak-porandakan suatu perairan pantai. Tetapi umumnya faktor alami ini jauh
lebih sedikit frekuensi kejadiannya dibandingkan dengan faktor antropogenik.
Perburuan dugong telah dilakukan sejak awal sejarah interaksi manusia
dengan dugong. Sejak dulu dugong dianggap dapat menjadi sumber makanan,
obat-obatan, dan berbagai keperluan ritual budaya. Hingga kini
tak ada data
yang terpercaya yang
dapat digunakan untuk menyebutkan secara kuantitatif seberapa jauh populasi dugong di Indonesia
telah berkurang dalam beberapa dekade terakhir ini. Di tahun 1970-an misalnya, diperkirakan
populasi dugong di Indonesia ada sebanyak 10.000 ekor, sedangkan di tahun 1994,
diperkirakan sebanyak 1.000 ekor saja (Marsh dkk 2002).
Gading dugong dijual dengan harga yang
sangat tinggi di Tual (Pulau Kei, Maluku Tenggara) dan di Ambon, sampai
seharga Rp 350.000 sebatang (Moss & vander Wal, 1998) yang nilainya lebih
tinggi dari pendapatan bulanan rata-rata seorang nelayan. Harga pasar yang
tinggi ini merangsang nelayan untuk masih terus memburu dugong.
Ancaman langsung
lainnya terhadap dugong yang juga sering dijumpai adalah terperangkapnya dugong dalam alat tangkap perikanan seperti
jaring pasang surut dan sero. Sebenarnya dugong secara
tidak sengaja masuk ke dalam perangkap sebagai buruan tetapi dugong masuk dan
terjerat atau terperangkap dalam alat perikanan. Apabila dugong terjerat dan tak bisa menarik
napas ke permukaan maka ia akan mati.
Dugong juga terancam jika tertabrak oleh
kapal atau perahu motor cepat. Dugong pada umumnya tak dapat berenang cepat,
dan karenanya bila ia sedang di permukaan
untuk menarik napas maka akan sulit baginya untuk mengelak apabila didekati
atau dihampiri oleh kapal atau perahu motor yang sedang melaju cepat. Dugong
dapat tertabrak oleh badan kapal atau teriris oleh putaran baling-baling kapal.
Ancaman nonantropogenik juga
bisa terjadi pada dugong berupa penyakit karena dihinggapi oleh berbagai
parasit yang dapat mengganggu kesehatan dugong. Parasit seperti cacing pipih
dijumpai bersarang di saluran hidungnya. Cacing tersebut menyebabkan
tererosinya lapisan mukosa sekitar hidung sampai ke sekitar tenggorokan. Cacing trematoda lainnya, Opisthotrema
du}onis, menyerang saluran eustachia (eustachian tube) yang
terhubung ke indera pendengar. Dalam ususnya juga dijumpai parasit cacing trematoda Indosolenorchis
hirudinaceus. Rupanya dugong dari alam ini rentan dengan serangan parasit
cacing trematoda.
Ternyata dugong memang dapat terinfeksi oleh berbagai jenis parasit, tidak saja oleh cacing
tetapi juga oleh protozoa dan bakteri. Sejenis protozoa Cryptosporidium misalnya, ditemukan
menyerang saluran pernapasan dan saluran
pencernaan pada dugong
dari Teluk
Hervey,
Australia (Marsh dkk,
2002). Tetapi belum
diketahui apakah protozoa Cryptosporidium itu menjalani seluruh siklus hidupnya
dalam tubuh dugong ataukah terinfeksi dari sumber luar lainnya.
Konservasi dan
Pelestarian Ekosistem Lamun dan Dugong
Dugong menjadi hewan buruan selama bertahun-tahun
karena daging dan minyaknya,
sehingga diperlukan konservasi agar kehidupan hewan ini dan habitatnya hidup
secara berkelanjutan. Konservasi adalah usaha pelestarian atau perlindungan.
Konservasi ekosistem lamun dan dugong telah dilakukan dari adanya kerjasama
oleh pemerintah dan komunitas-komunitas perlindungan perairan Indonesia. Terdapat
beberapa program perlindungan wilayah laut di Indonesia, pada tahun 2009
terdapat rehabilitasi terumbu karang di bawah Coral Reef Rehabilitation and Management Project (COREMAP). Program
ini didukung dan dikoordinasikan oleh pemerintah lokal, LSM baik lokal maupun
internasional seperti WWF, TNC, Wetlands International, WCS and IUCN. Program
ini juga mencakup habitat dari dugong. Progam konservasi laut lainnya
yang berada pada tahun 1989-1993 yaitu Dugong Management and Conservation
Project for the Moluccas. Program ini merupakan dukungan dari Uni Eropa
yang menghasilkan rekomendasi untuk pengelolaan dan konservasi dugong.
Secara regulasi, dugong
juga telah dilindungi oleh Undang-Undang No. 7 (1999) tentang Konservasi
Flora dan Fauna, tetapi di lain pihak
tidak terdengar
adanya upaya nyata untuk menyelamatkan
hewan langka ini di Indonesia secara komprehensif. Lembaga pemerintah yang terkait dengan
urusan konservasi meskipun
telah menetapkan
kebijakan dan rencana
aksi penyelamatan
dugong, namun implementasinya tampaknya belum tampak nyata.
DSCP Indonesia |
Beberapa kegiatan DSCP Indonesia
meliputi simposium skala nasional untuk mengumpulkan dan memutakhirkan data dan
informasi lain yang tersebar di seluruh Indonesia. Survei pendahuluan sudah
dilakukan di empat lokasi kerja, yaitu Alor (NTT), Bintan (Kepulauan Riau),
Kotawaringin Barat (Kalimantan Tengah), dan Tolitoli (Sulawesi Tengah). Kegiatan
lain yang dilakukan yakni peningkatan kapasitas masyarakat lokal dan penggiat
konservasi melalui lokakarya dan pelatihan serta pendampingan serta
pemberdayaan masyarakat.
Sebagai masyarakat yang memiliki motivasi dalam konservasi dan pelestarian lamun dan dugong dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:
- Menjaga kebersihan dan kenyaman biota laut di padang Lamun. Membuang sampah sembarangan akan menggangu keberlangsungan kehidupan apapun. Hal tersebut menjadi langkah pertama dan sederhana dalam pelestarian lingkungan padang lamun.
- Melakukan transplatasi lamun. Merupakan salah satu pemulihan lamun dengan cara menanam kembali lamun pada wilayah yang mengalami kerusakan baik itu karena ancaman dari manusia maupun ancaman dari alam.
- Mengawal dan mengembangkan keamanan perairan laut dari kegiatan perburuan dugong. Kegiatan perburuan dugong merupakan kegiatan yang melanggar undang-undang. Sehingga siapapun yang secara sengaja atau tidak sengaja agar langsung ditindak sesuai UU. Misalnya, melakukan pelarangan penggunaan jaring insang dan pukat. Kedua alat tangkap tersebut merupakan ancaman utama terhadap dugong yang tidak bisa diabaikan.
- Melakukan kerja sama antar institusi yang terkait dengan prioritas pembangunan berkelanjutan. Mengembangkan sistem pengelolaan dan pelestarian ekosistem lamun dan segera menetapkan situs suaka dugong yang dikelola pemerintah dan masyarakat dengan menerapkan sistem zonasi yang tidak dibatasi dengan batas administrasi batas negara. Hal ini juga dapat meningkatkatkan kapasitas bagi pemerintah dan institusi terkait dengan mengadakan pelatihan teknis dan pemantauan pembangunan.
- Memanfaatkan sosial media sebagai media kampanye dan pengetahuan untuk mengenalkan kehidupan lamun dan dugong. Saat ini tidak banyak masyarakat yang mengenal lamun dan dugong sehingga diperlukan edukasi tentang lamun dan dugong yang menarik serta ancaman dan usaha pelestariannya. Memanfaatkan media sosial mampu menjangkau banyak orang agar merasa saling memiliki. Kegiatan edukasi kepada masyarakat dan khususnya masyarakat sekitar konservasi dugong sangat penting dilakukan. Penyuluhan tentang pemeliharan, sikap dan perilaku yang sering dilakukan oleh dugong.
- Melakukan manajemen kegiatan aksi yang berkelanjutan. Kegiatan aksi yang berkaitan dengan perairan dan biota laut haruslah berkelanjutan. Dengan monitoring atau mengevaluasi hasil dari setiap kegiatan yang telah berlangsung agar diketahui keberhasilan kegiatan tersebut hingga berakhir dengan pelaporan yang diketahui oleh masyarakat luas.
- Melakukan penelitian, survei, pemantauan serta inventarisir ekosistem lamun dan populasi dugong. Melaksanakan penelitian sebagai pengembangan pengetahuan kehidupan lamun dan dugong agar selalu dinamis karena perkembangan pembangunan. Mensurvei dan menginventarisir keberadaan luasan lamun dan populasi dugong agar diketahui secara kuantitatif dengan menggunakan metode atau teknik apapun demi keberlanjutan kehidupan
Lamun asri, Dugong Lestari |
Biarkan Duyung tetap meLamun
#DuyungmeLamun
Daftar Sumber.
Duarte, C.M. 2002. The future of seagrass meadows. Environ. Conserv. 29:192-206.
Engel, L. 1970. The Sea. Time-Life Books, New York.
Engel, L. 1970. The Sea. Time-Life Books, New York.
Marsh, H., H. Penrose, C. Eros, and J. Hugues. 2002. Dugong Status Report and Action Plan for Countries and Territories. UNEP.
Early Warning and Assessment Report Series: 162 pp.
de Iongh, H. H. 1997. Current status of dugongs
in Indonesia. In: T. Tomascik, A. J.
Mah, A. Nontji
& M. K. Moosa (eds.) The Ecology of the Indonesian Seas, Part
II, Dalhousie
University, Periplus Edition: 1158 - 1166.
de Iongh, H. H., B. Bierhuizen, and B. van Orden. 1997. Observations on the
behaviour of the dugong (Dugong
dugon Muller, 1776)
from waters of the Lease
Islands, eastern Indonesia. Contributions to Zoology, 67 (1): 71-77.
de Iongh, H. H., W. Kiswara, and W. Kustiawan. 2006. Dugong grazing
patterns and interaction with traditional conservation (Sasi Laout) Indonesia: A review. Journal of Natural and Life
Sciences, 1 (1): 1-10.
de Iongh, H. H., W. Kiswara, W. Kustiawan and P.E. Loth. 2007. A review of
research on the interaction between Dugongs (Dugong dugon, Muller 1776) and intertidal seagrass beds in
Indonesia. Hydrobiologia, 591 (1) :
73-83.
J.
W. Fourqurean, C. M. Duarte, H. Kennedy, N. Marba, M. Holmer, M. A. Mateo, E.
T. Apostolaki, G. A. Kendrick, D. Krause-Jensen, K. J. McGlathery, O. Serrano,
“Seagrass Ecosystems as a Globally Significant Carbon Stock,” Nature Geoscience
5, no. 7 (2012): 505–509.
Kiswara,
W., M.H. Azkab & L.H. Purnomo, 1997. Komposisi jenis dan sebaran lamun di
Kawasan LautCina Selatan. Atlas Oseanologi Laut Cina Selatan. P3O-LIPI,
Jakarta.
Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji,
and M.K. Moosa. 1997. The Ecology of the
Indonesian Seas, The Ecology of Indonesia Series, Volume VIII, Part Two. Periplus Edition: 643-1388.
Sumber gambar.
DSCP
Indonesia
National
Geographic
0 comments:
Post a Comment