Oleh : Aditya Zulmi Rahmawan
Sebagai
manusia yang lemah pernakah timbul pertanyaan, haruskah melupakan lingkungan. Ketika
lingkungan sudah memberikan segalanya yang dia punya dan begitu saja kita
lupakan perkembangannya. Sempatkah kita saat dikelas memahami pandangan posibilisme dan fisis determinisme. Jika kita mengacu pada kedua pandangan tersebut,
kita akan tahu, akan dibawa kemana bumi kita. Semua orang memang berhak
meyakini paham mana saja, akan tetapi untuk saat ini sangatlah urgent untuk ditindaklanjuti. Karena
kita sebagai manusia telah sama-sama “merubah” bentuk bumi.
Kerusakan di bumi akan menimbulkan
dampak negatif dalam perkembangan bumi. Atas nama apapun dan siapapun yang
melakukannya harus segera di akhiri. Karena persoalan yang seharusnya krusial
ini berpengaruh terhadap segala unsur kehidupan di negara manapun, termasuk
Indonesia. Di Indonesia, pengaruh lingkungan yang saat ini semestinya menjadi
prioritas kebijakan pemerintah adalah penebangan hutan maupun konversi hutan. Kita
telah mendengar bahwa ahli kehutanan dan geologi mengkaji sebuah kasus
penebangan di Kalimantan yang berada di daerah Kalimantan Tengah diperkirakan akan
menjadi “Sahara mini”. Hal ini disebabkan karena tanah lapisan atasnya begitu
tipis dan bisa jadi menghilang. Dampak lain yaitu ketidakberdayaan suku Dayak
yang tinggal disana yang terus tergusur dari tempat tinggalnya. Lalu lihat juga
keadaan bumi cendrawasih, bumi Papua yang terus menghilang pesonanya, tergerus
dalam hasil buminya demi keindahan yang semata-mata hanya sekejap. Penduduk
asli pun tidak menerima emas dari bawah tanahnya. Sehingga tidak akan
mengherankan, jika suatu ketika mereka akan melakukan perlawanan yang cukup
radikal terhadap orang-orang yang mereka anggap membahayakan kelangsungan hidup
dan budaya mereka.
Mahasiswa sebagai agent of change diharapkan mampu mengangkat isu lingkungan menjadi
isu sensitif. Namun di awal abad 21, gerakan demonstrasi mahasiswa terkonsentrasi
pada kondisi kampus dan sistem pendidikan. Seolah enggan untuk fokus
memperjuangkan penderitaan rakyat di hadapan penguasa dan pengembang tanah
raksasa. Jika rakyat kecil saja sudah enggan dibela, bagaimana membela
lingkungan yang saat ini kita masih menggantungkan hidup dengan lingkungan alam.
Banyak sekali kontroversi yang menyelimuti dan menggrogoti mahasiswa mulai
aktivisme-aktivisme dan romantika perkuliahan sungguh membuat mahasiswa
sekarang mengerucut dalam kegetiran.
Perlu adanya alat perjuangan untuk
mewujudkan keseimbangan lingkungan, yaitu melalui media. Diharapkan sumbangan
pemikiran-pemikiran yang bisa di publikasikan. Sehingga banyak alternatif jalan
keluar yang membangun keindahan bumi kembali. Dalam era globalisasi seperti ini,
mudah sekali informasi bisa tersampaikan karena satu orang pembaca akan mengajak
orang lain untuk berbuat. Karena hidup adalah berbuat. Bumi tidak akan
diciptakan. Kalau kita ada dan tidak berbuat apa-apa. Dan kita pasti akan mati
namun bumi akan abadi.